Pagi itu, Senin 12
Oktober 2013, jam telah menunjukan pukul 05.00, hati ini sudah tidak sabar
untuk melakukan perjalanan pertama untuk mendaki gunung. Ya, liburan kali ini
berkesan cukup berbeda dari biasanya, bukan pantai dan juga bukan kota dan gemerlapnya yang
menjadi tujuan saya kali ini, akan tetapi puncak para dewa, Semeru. Jenuhnya
suasana kota
yang memaksa saya untuk mengambil waktu untuk meninggalkan ibukota yang
memuakkan. Saya masih memiliki waktu beberapa hari untuk bisa berlibur karena
saat itu masih dalam suasana hari besar Idul Fitri. Telah lama saya
merencanakan perjalanan ini, walau sejujurnya bukan Semerulah tujuan utama saya
melainkan Pulau Sempu yang memang masih dalam lingkup Malang. Teman yang mengajak saya untuk ikut
bergabung dalam perjalanan yang luar biasa ini, dan tanpa ragu saya iyakan
tawaran tersebut.
Setelah banyak
bersiap dan memastikan diri tidak ada yang terlewat, jam 7 pagi saya pergi ke
tanah abang karena telah ada janji dengan seseorang, singkat cerita pukul 14.00
saya sudah berdiri diatas rangkaian besi tua bertenaga diesel milik PT.KAI,
matarmaja namanya, sedikit merinding sesaat setelah kereta berjalan, memang
setiap perjalanan saya selalu merasakan hal seperti ini, mungkin karena akan
meninggalkan orang-orang yang saya cintai untuk beberapa saat. Gemuruh suara
gesekan roda dengan rel memang sangat khas di telinga, selain itu, suara para
penumpang yang saling bercengkrama satu dengan yang lain mengisi suasana
gerbong yang selalu padat untuk kelas ekonomi. Untuk jurusan Malang, kereta ini memang menjadi favorit
oleh seluruh kalangan, termasuk rombongan pendaki seperti halnya saya.
Detik berdetak,
menit mengiringi, jam pun setia mendampingi, tak terasa malampun menjelang dan
saya memilih tuk tidur menikmati kesendirian, berkali-kali diri ini terbangun
dengan berbagai alasan, hingga akhirnya subuh itu, kuda besi yang berangkaian
telah tiba di Stasiun Kediri, ini artinya tak lama lagi saya akan tiba di
Malang, jam 8 pagi setelah kurang lebih 16 jam berada diatas kereta, Stasiun
Malangpun menyambut kedatangan saya yang kedua kalinya dengan udara khas pagi
kota apel, panas yang terik tetapi hawa sangat terasa dingin.
Setelah turun saya
langsung menuju tempat penitipan motor yang khas sekali oleh para pendaki
dijadikan tempat untuk menginap, sambil menunggu teman saya yang akan dating
dengan kereta yang berbeda, saya berbincang tentang kota ini. Tak lama, hanya sejam batang hidung
teman saya terlihat, dia bersama dengan teman kuliahnya yang juga akan mendaki
ke Semeru. Pagi dari malang harus mencoba ketan
bubuk kedelai tepat di depan Stasiun, khas Malang.
Hal yang sudah
tidak perlu anda pertanyakan ketika berada di kota orang memiliki waktu senggang, kuliner.
Yap kuliner malang
sangat beragam, mumpung kami masih memiliki waktu 1 hari kosong, kami mencoba
beberapa penganan yang khas disini seperti Soto Lombok, Lontong Kuah, Baso
Bakar, sayang yang paling saya incar, Es Tawon sudah habis, berjalan kaki dari
siang sampai pukul 10 malam memang sangat terasa, ternyata setelah ditotal hari
ini kami telah berjalan 9Km lumayanlah buat latihan. Mungkin karena telah lelah
berjalan, tak sampai 1 jam pun kami telah terlelap dengan ganteng diatas
jejeran motor yang menginap disana.
Selamat pagi malang, kembali Ketan Bubuk dan Susu Jahe jadi sarapan
kami yang lezat dan murah, setelah sarapan rombongan sayapun tiba dari Jakarta, jam 8 juga telat
1 jam dari yang tertera di tiket kami. Langsung bergabung dan berkenalan,
jumlah kami cukup banyak dari rombongan yang lain, berjumlah 24 orang, wooww.
Segera kami menyewa angkot menuju arah Tumpang, tempat awal para pendaki untuk
menuju ke awal kita mendaki Ranu Pane, kurang lebih proses registrasi dan
persiapan yang lain pukul 2 siang kami berangkat menggunakan truk, sangat
fantastis menarik, karena kanan kiri jalan kami disuguhkan dengan hamparan
pegunungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang masih perawan, dan saya
sangat berharap akan terus terjaga sampai kiamat menyambut. Janganlah negara
ini terus dieksploitasi oleh para penguasa yang gila akan duniawi, Bantu
menjaga dan memelihara bumi yang apik adanya.
Tiba pukul 16.00
pimreg langsung registrasi ke kantor pendaki guna mendaftar agar bisa mendaki,
tak lama hanya setengah jam proses pun selesai, tapi karena rombongan telah
melakukan perjalanan panjang maka dengan dewasa kami memilih untuk menikmati
malam ini di Ranu Pane. Malam itu, malam pertama untuk saya merasakan alam yang
sesungguhnya pada langit berbintang, pengalaman yang luar biasa adanya. Cepat
berjalan pagi 15 Agustus menyambut kami dari ketinggian 2200 mdpl, dingin
menyelimuti kawasan tersebut, pengukur suhu menunjuk pada 14 derajat Celsius.
Tak ingin terus
terlena disana kami pun lantas membagi rombongan menjadi 4 kelompok agar saat
diperjalanan tidak penuh sesak. Saya masuk dalam kelompok terakhir yang
beranggotakan 6 orang koprok, tile, ogi, kirana, pionk, dan saya. Perjalanan
yang sangat nikmat terasa, peluh terus mengucur di dahi dan cepat meresap oleh
kain yang diikatkan di kepala. Naik turun bukit, medan berpasir menjadi teman
kami selama 6 jam, tak terasa pukul 15.00 kami sampai pada sebuah tempat yang
tidak ternilai indahnya, mungkin saya dapat mengatakan saya orang yang
beruntung karena telah mencicipi surga yang telah dibuat oleh Tuhan YME, walau
surga yang ada di dunia. Subhanallah, itu kata yang pertama terlontar dari
bibir ini, indah nian negara dengan isinya, kami telah sampai di Ranu Kumbolo,
bagi para pendaki inilah surganya Semeru.
Berdiskusi santai
sambil beristirahat di Ranu Kumbolo jadi pilihan kami saat itu, tak lama kami
pun mendirikan tenda untuk bermalam dan melindungi kami dari dinginnya suhu
disana. Matahari pun sejenak beristirahat dan berganti dengan bulan dengan
cahayanya, ribuan bahkan jutaan bintang terang terasa dekat dengan diri ini,
ingin rasanya menggapainya dari atas bukit yang lebih tinggi di selatan tenda
kami. Setelah makan malam kami pun bercengkrama dan menentukan gimana
kelanjutan perjalanan ini, karena dari salah satu anggota sempat bertanya
dengan ranger dan membawa kabar yang cukup ironis, kami belum mendapatkan izin
untuk ke puncak pada tanggal 16-17 Agustus, kabar baiknya kami bisa berdiri
dengan gagah disana pada tanggal 18, dan akhirnya dengan pertimbangan yang
matang kami memilih berada di Ranu kumbolo hingga tanggal 17 pagi dan baru
melanjutkan perjalanan agar semakin dekat ke Mahameru, pada malam 16 agustus
badan ini terasa dingin sekali suhu saat itu menunjuk -4 derajat celcius, tak
kuat saya memilih untuk cepat memejamkan mata.
Dan pagi itu 17
Agustus 2013 saya upacara dengan seluruh para pendaki di Ranu Kumbolo, sangat
khidmat. Kami merasa kami bagian dari negara ini dan sekuat tenaga menjaga dan
merawatnya, tidak membiarkan negara ini hancur oleh peradaban yang salah
kaprah. Selesai pukul 09.00 upacara, kami pun lekas merapihkan tenda untuk bersiap
jalan ke Kalimati. Jam 10.00 kami jalan, baru 15 menit berjalan, 2 bukit
berdekatan menjadi awal pagi pembakar semangat. “Tanjakan Cinta” para pendaki
menyebutnya. Dari mitos yang kental tentang Tanjakan Cinta, siapapun yang
berhasil melewati tanjakan dengan elevasi kemiringan mencapai 60 derajat ini
sambil memikirkan orang yang kita sayang tanpa sekalipun melihat kebawah,
niscaya cinta kita kan
kekal abadi bersamanya di masa depan, hanya sekedar mencoba sayapun jua
melakukannya, baik benar atau tidaknya biar Tuhan yang menentukan.
Berhasil walau
harus terhenti 4 kali, saya mampu menepati syarat yang diajukan. Tak lama
menurun ke savanna dengan hamparan lavender yang mengalami kekeringan, hampir
seperti terbakar seluruhnya, hanya menyisakan titik-titik tertentu tang
memiliki warna ungu yang menyejukan mata. Berjarak 10 menit dari sana kami tiba di Cemoro
Kandang, tempat barisan pohon cemara yang saling beraturan. Terus berjalan
menanjak dengan lebar jalur hanya 1 meter kami terus berjalan hingga 3 jam dan
tiba di Bambangan, pos terakhir sebelum Klimati dengan latar belakang puncak
Mahameru. Terus bersemangat hanya sejam kemudian kami tiba di Kalimati dan
sudah banyak para pendaki disana dengan tenda di pinggiran lapangan. Mungkin
berjumlah 300an orang.
Lekas mendirikan
tenda dan memasak agar bisa cepat beristirahat karena nanti malam kami akan Summit ke Mahameru, jam 6
pun kami sudah bersantai dan jam 8an hampir semua telah beristirahat untuk
mempersiapkan diri dan tenaga malam nanti. 2 jam beristirahat sudah lumayan
cukup membuat kami bersemangat menyambutnya, setelah bersiap jam 11 malam kami
berjalan, bertemu dengan para pendaki dan kami menyadari bahwa malam ini akan
sangat ramai diatas nanti, dan benar saja setelah melewati Arcopodo dan hampir
sampai pada Pelawangan kami terhenti dengan antrian yang panjang hingga puncak.
Rombongan berunding langkah apa yang harus ditempuh dengan keadaan seperti ini.
Arloji menunjuk pukul 1.30 dinihari dengan pertimbangan waktu kami tidak dapat
melanjutkannya karena setelah itu akan melakukan perjalanan turun yang amat
jauh hingga Ranu Pane, akhirnya jam 2 kami turun dengan lapang dada.
Tidak memaksakan
kehendak pribadi dan memikirkan keselamatan bersama adalah kunci disini, semua
ego harus jauh dibuang jangan sampai mengalahkan segalanya. Turun bersama dan
tiba di Kalimati kembali pada pukul 3 dinihari, dingin semakin menusuk
pori-pori tubuh, kembali istirahat adalah jalan yang tepat. 18 Agustus pagi
kami menikmati hangat mentari dari dari mati, makan bersiap untuk kembali turun
dan sebagainya, dan berjalan pada pukul 12.00 siang. Cepat sekali rasanya jam 3
sore kami sudah kembali di Ranu Kumbolo, berhenti sejenak istirahat,
mempersiapkan air secukupnya dan melepas kangen, karena entah kapan kami akan
menemui surga ini, semoga tetap terjaga keasriannya.
Tidak boleh lama,
karena kami mengejar waktu untuk dapat sampai ke Jakarta 20 agustus kami
langsung berjalan menuju Ranu Pane dengan semangat dan akhirnya kami tiba
disana pukul 18.30 sore, makan bersih-bersih dan berdoa sejenak telah diberikan
keselamatan hingga bisa kembali di kaki Semeru ini. Jam 8 malam kami lanjut
menuju Tumpang dengan truk yang berbeda tiba pada pukul 11 malam, disini saya
berpisah dengan rombongan karena berbeda transportasi yang digunakan. Saya pun
menginap di camp pendaki Tumpang.
Semalam disini dan
saling berkenalan dengan para pendaki yang telah turun dan baru akan mendaki
semeru adalah cara saya agar tidak begitu canggung. Jam 1 saya pun tertidur
bangun pukul 5 subuh melihat hp ternyata arga dan bayu telah sampai di stasiun
malam itu. Saya langsung berpamitan dengan ibu pemilik rumah dan dengan para
pendaki lain, melanjutkan perjalanan dengan angkot kota ke stasiun pukul 8 pagi. Tiba si stasiun
pukul 12.00, arga dan bayu ternyata membeli oleh-oleh sebagai buat tangan dan
saya yang lelah hanya meminta untuk dibelikan. Jam 2 kereta kami pun bersiap
mengakhiri perjalanan spektakuler manusia biasa.
Ada banyak pelajaran yang saya ambil dari
perjalanan kali ini, janganlah memikirkan ego sendiri, tetap bekerjasama dalam
situasi apapun yang menyulitkan karena manusia adalah makhluk sosial, dan yang
terpenting perjalanan ke gunung bukanlah puncak yang dicari melainkan perjalanan
penuh rintangan yang kita hadapi dan nikmati. Sekian :)